Selasa, 21 Oktober 2014

TELLU LIMPOE DARI OOSTER DISTRICTEN MENJADI ONDERAFDELING SINJAI

A.    KONDISI  SOSIAL POLITIK TELLU LIMPOE
            Masyarakat secara vertical terbagi atas beberapa tingkatan kedudukan social (kemsayarakatan). Pelapisan kemasyarakatan ini terdapat di semua macam masyarakat, baik yang telah maju maupun yang masuh terbelakang[23]. Lapisan masyarakat tadi mulai sejak manusia mengenal adanya kehidupan bersama didalam suatu organisasi sosial. Pada masyarakat kecil serta sederhana, biasanya membedakan kedudukan dan peranan bersifat minim, karena warganya sedikit dan orang-orang yang dianggap tinggi kedudukannya juga tidak banyak macam serta jumlahnya. Secara prinsipil, bentuk lapisan social dapat diklasifikasikan kedalam tiga macam kelas yaitu ekonomis, politis dan yang didasarkan pada jabatan tertentu dalam masyarakat [24].
            Menurut Friedericy, lapisan masyarakat Sulawesi Selatan pada hakekatnya ada dua lapisan pokok saja, yaitu lapisan anakarung dan maradeka. Adapun atas hanya merupakan lapisan sekunder. Hal ini mengikuti pertumbuhan pranata sosial dalam kerajaan Sulawesi Selatan[25].
            Bertolak dari pendapat tersebut maka dapat dikatakan bahwa masyarakat Bugis Makassar pada umumnya tidak lepas dari pelapisan sosial dalam masyarakat, termasuk masyarakat Tellu Limpoe.
Pada  tahun  1824 kerajaan-kerajaan  di Bulo-Bulo Sanjai  menghadapi  musuh  yang  kuat  yaitu Kompeni Belanda yang  berpusat  di  bulo bulo. Maksud kedatangan kompeni belanda di bulo bulo ini adalah ingin menguasainya  berdasarkan perjanjian Bongaya antara Gowa dan Belanda pada tahun 1667.[26] Salah satu isi perjanjian bongaya yang berbunyi bahwa semua kerajaan kerajaan yang terhilap dalam kekuasaan kerajaan di kuasai  oleh Kompeni Belanda atau Hindia Belanda. Olehnya itu Belanda yang  berada di Batavia mengirim surat pada raja Bulo-Bulo yang pada  saat itu diperintah oleh seorang raja arung wanita yang bernama Cella didampingi seorang sulewatang yang bernama Baso Akbar bergelar Baso Kalaka Puang Lampe Uttu Mallangkarae di Kalaka Mallangkanae di Balubu, Calabai Tungkena Kalaka Koro Pessena Balubu Bari Cilampa’na Mangottong yang menjabat sebagai panglima kerajaan Bulo-Bulo. [27]
Adapun surat Hindia Belanda tersebut meminta atau menyerahkan kerajaan Bulo-Bulo termasuk Bulo-Bulo sanjai dibawah kekuasaan Hindia Belanda. Jika kerajaan di bulo bulo sanjai tidak mau menyerahkannya  maka akan dihancurkan oleh Kompeni Belanda. Mengetahui maksud tersebut, raja Bulo-Bulo mengundang semua raja raja yang ada di Bulo-Bulo di Sanjai disamping itu, ia juga mengundang arung Bulu Tana dan Patimpeng (Kahu)  guna dimintai pendapat dan pemikirannya maksud surat tersebut.
Hasil pertemuan tersebut tidak seorang pun  yang menyetujuinya dan memilih angkat senjata melawan Kompeni. Baso Kalaka sebagai penanggung jawab keamanan rakyat dan kerajaan beserta ipar saudara basokalaka yang bernama La Mandasini yang bergelar  Lapute Isi Arung Patimpeng     memilih untuk mempertahankan kerajaan Bulo-Bulo Sanjai.[28]
Selain itu, rapat tersebut memutuskan untuk segera membalasnya melalui pesuruh Belanda yang berada di Sanjai. Isi surat balasan tersebut adalah tak sejengkal tanah pun akan diserahkan kepada Kompeni sebelum melangkahi mayat Baso Kalaka beserta raja Bulo-Bulo Sanjai beserta pabbaraninya. Mereka semua rela berkorban demi kepentingan kerajaan.
Setelah surat raja Bulo-Bulo dikirim melalui pesuruh Belanda sejak saat itu pula Baso Kalaka mempersiapkan segala kekuatan perang termasuk persenjataan pabbarani dibekali  latihan mempergunakan  tombak, keris, badik dan parang sedang Lamaddisini kembali ke pattimpeng juga mempersiapkan pasukannya untuk untuk bergabung menghadapi serangan Belanda. Pada tahun 1824 datang pasukan Belanda sebanyak 7 buah kapal perang yang berisi pasukan Belanda yang lengkap dengan persenjataannya yang berjejer disebelah barat Bulau Bulunrue di sebelah timur Mangarabbombang. Dinihari atau menjelang subuh Kerajaan Bulo-Bulo mulai dihujani dengan peluru Belanda. Baso kalaka mendapat kesempatan mengatur siasat perangnya dengan memerintahkan gadis-gadis cantik masing masing membawa kain putih sedang para pabbarani atau pasukan Baso Kalaka dan Lamaddasini menyusup kepantai bersembunyi pada semak semak. Pada pagi harinya tampak gadis-gadis dipinggir pantai mangarabbombang berjalan sambil memancangkan kain putihnya dipinggir pantai. Belanda tanpa berpikir panjang lalu semuanya berloncatan dari kapal untuk merebut gadis-gadis cantik itu. Sesungguhnya itu adalah politik perang dari Baso Kalaka agar Belanda mendarat dan mudah disergap satu persatu melalui ujung tombak keris badik dan parang. Dengan mendaratnya pasukan belanda dari 7 kapal perang itu  maka berperang mati-matianlah raja Bulo-Bulo yang dipimpin masing-masing pabbarani seperti Tondong, Lamatti, Manimpahoi, Manipi Turungeng, Arung Bulu Tana Lamandasini.
Perlawanan Bulo-Bulo Sanjai dapat  menenggelamkan sebuah kapal perang yang bernama  H M Gronigem disebelah barat balunru.[29] Belanda pada saat itu dipimpin oleh Van Geen bertekuk lutu pada Bulo-Bulo Bulo-Bulo Sanjai yang akhirnya lari menyelamatkan diri dari sergapan pabbarani. Belanda kembali ke Batavia dengan hanya 6 buah  kapal perangnya. Peperangan ini berlangsung lama tetapi tidak terus menerus dan berakhir pada tahun awal 1859. Pada akhir tahun 1859 datang lagi serangan belanda dari segala penjuru dibawah pimpinan Van Sweeten.[30]  Penyerangan Belanda ini membuahkan hasil karena melemahnya kerjasama di dalam tubuh pasukan Bulo-Bulo Sanjai sehingga kekuatan sulit terkoordinir oleh Baso Kalaka.  Baso Kalaka mundur sambil berkata bahwa  sesungguhnya musuh Bulo-Bulo Sanjai adalah siputih mata bukan bangsa sendiri tidak ada gunanya kita saling membunuh antara sesama keluarga sendiri dan saya sendiri serta pasukan yang akan melanjutkan perlawanan ini ikut saja dimana saya bertahan nanti. Silahkan saudara saudaraku yang mencintai Belanda tinggal bersama Belanda itu di Bulo-Bulo Sanjai. Tetapi kalian adalah musuh saya kata Baso kalaka, sedangkan Lamaddasini  kembali ke Pattimpeng menyusun kekuatan guna menghadapi Belanda di sana.
Berangkatlah Baso Kalaka ke Bulukumba guna menyusun kekuatan untuk menghadapi Belanda. Pada tahun 1875 Baso Kalaka meninggal dunia dalam keadaan sakit[31]. Setelah Baso Kalaka dan Lamaddasini tidak berkuasa lagi di Bulo-Bulo Sanjai Belanda telah menanamkan kuasanya tetapi tidak berjalan lancar. Perlawanan rakyat yang dipimpin  oleh raja masing-masing masih sering terjadi.  Hal ini sangat menyulitkan Belanda hingga akhir tahun 1860.
Telah diketahui bersama bahwa setiap peperangan yang terjadi cukup banyak akibat  yang ditimbulkan baik itu sifatnya positif  maupun sifat negatif atau merugikan. Kalau kita berbicara tentang akibat karena perang dan bila kita tinjau pada satu segi sebagian besar orang mengatakan bahwa perang mengakibatkan kerugian yang sangat besar  baik jiwa dan harta benda serta lain lainnya. Tetapi bila kita tinjau secara pesikologi di balik itu mempunyai keuntungan yang sangat besar bagi umum atau masyarakat dan Negara. Misalnya kemerdekaan suatu bangsa tidak mungkin  dicapai tanpa melalui akibat  yang sangat besar.
Demikian pula halnya dengan perlawanan Puang Lampe Uttu terhadap imperialisme Belanda  tentunya terdapat banyak akibat dan semua akibat mempunyai nilai-nilai perjuangan yang sangat tinggi terutama keperkasaan semangat patriotisme yang dapat dijadikan ketauladanan  bagi generasi pelanjut cita cita bangsa dalam membangun Negara  serta memperkuat kepribadian bangsa memupuk rasa persatuan  dan kesatuan cinta banga Negara. Adapun akibat yang ditimbulkan dari perlawanan Puang Lampe Uttu terhadap imperialisme Belanda  adalah pengorbanan harta benda baik terjun ke medan laga maupun masyarakatnya yang tidak terlibat langsug dalam kontak senjata.
Selain itu perlawanan tersebut juga menimbulkan pemecatan raja raja dilakukan oleh Belanda, setelah Belanda menanamkan kuasanya. Para raja yang pernah memihak kepada perlawanan Puang Lampe Uttu  di pecat atau diturunkan dari tahta kerajaannya dan diganti dengan orang orang yang dipercaya oleh Belanda. Keturunan dan sanak keluarga dari raja yang dipecat tidak diberikan kedudukan dalam kerajaannya begitu pula pendidikan yang lebih.
B.     Konfederasi Tellu Limpoe dalam Perjanjian Bungaya yang Diperbaharui 1824
Prinsip politik tidak campur tangan urusan dalam negeri kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan telah dianut Kompeni Belanda sejak perjanjian Bungaya 1667. VOC menduduki Makassar hanya dalam usaha melindungi monopoli perdagangan di Kepulauan Maluku. Perjanjian Bungaya yang diperbaharui pada tahun 1824 salah satunya menyatakan bahwa, pemerintah Belanda tidak lagi berkepentingan dalam masalah monopoli perdagangan di kepulauan Maluku tapi menuntut pengakuan kedaulatan atas kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan.
Politik ini mulai ditinggalkan Pemerintah Kolonial Belanda pada saat Inggris mengadakan kegiatan di Sulawesi Selatan. Menanggapi hal tersebut Pemerintah Kolonial Belanda berhati-hati akan adanya sengketa kekuatan Inggris dalam kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan. Untuk mengatasi hal itu pemerintah colonial mengadakan perubahan nama (Gouvernement Makassar en Onderhoorigheden) menjadi (Gouvernement Celebes en Onderhoorigheden).[32]
Perubahan ini terjadi pada tahun 1846 dibawah pemerintahan Gubernur Jendral Jan Jacob Rochussen sekaligus sebagai Gubernur Sulawesi yang menjadi ancaman bagi kerajaan-kerajaan lokal di Sulawesi Selatan termasuk Tellu Limpoe yang merupakan kerajaan otonom. Akibat campur tangan pemerintah colonial, yang diakhiri dengan perang Bulo-Bulo maka persekutuan Tellu Limpoe di hapuskan beralih ke pemerintah kolonial.
Keberhasilan Belanda menguasai negeri-negeri bagian timur Sulawesi Selatan merupakan realisasi perjanjian Bungaya yang diperbaharui pada tahun 1824, seperti termuan dalam pasal enam bahwa batas-batas daerah kepentingan Gubernemen akan ditetapkan kemudian. [33] Pasal ini mengandung arti bahwa daerah kekuasaan Belanda didasarkan atas keadaan politik yang setiap saat bisa diperluas termasuk kerajaan-kerajaan dalam konfederasi Tellu Limpoe.
Dengan adanya perjanjian Bungaya 9 Agustus 1824 bertujuan untuk menguatkan perjanjian Bungaya pada tahun 18 November 1667. Hal ini juga bertujuan untuk menyalurkan cita-cita politik untuk menguasai kerajaan-kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan.
Segala macam cara dan upaya yang dilakukan Belanda guna mematahkan perlawanan rakyat yang datangnya secara tiba-tiba seperti melaksanakan tindakan kekerasan terhadap rakyat yang diketahui memimpin pemberontakan tanpa pri kemanusiaan. Mengadakan pergantian raja-raja pada kerajaan yang diduga memihak pada pemberontak. Tetapi usaha dan cara tersebut, bukannya melumpuhkan perlawanan rakyat, melainkan sebagai penambah semangat juang rakyat untuk melawan Belanda.
Belanda melanjutkan politik pecah belahnya, kerajaan Bulo-Bulo dipecah menjadi dua kerajaan, masing-masing kerajaan Bulo-Bulo Timur dan Barat di Bekeru pada tahun 1871[34]. Dengan terpecahnya kerajaan Bulo-Bulo menjadi dua buah kerajaan maka lumpuhlah perlawanan rakyat Bulo-Bulo Sanjai. Sejak itu Belanda telah berkuasa penuh atas semua kerajaan-kerajaan yang ada di Sanjai dan Sejak itu pula kerajaan Bulo-Bulo Sanjai telah hilang dalam Kenyataan karena telah ditunggangi oleh  Belanda sepenuhnnya. Dan mulai kedengaran sebutan Sinjai, jarang lagi kita mendengar kata Sanjai.[35] Kebijakan ini telah menanamkan benih dan bangkitnya rasa kebangsaan atau nasionalisme serta semangat kedaerahan.
Pada tahun 1861 pemerintahn di Tellu Limpoe berubah menjadi distrik sebagai berikut:
Pada saat itu Sinjai memiliki 6 distrik dan beberapa distrik bawahan, sebagai berikut:[36]
1.       Distrik Tondong dengan 7 distrik bawahan
2.      Distrik Bulo-Bulo Timur dengan 14 distrik bawahan
3.      Distrik Bulo-Bulo Barat dengan 11 distrik bawahan
4.      Distrik Lamatti dengan 12 distrik bawahan
5.      Distrik Manimpahoi dengan 10 distrik bawahan
6.      Distrik Manipi dengan 16 distrik bawahan
Masing-masing distrik bawahan diperintah oleh seorang arung. Sedangkan pemilihan kepala adat (adat gemenschap) dipilih melalui pemilihan yang diwakili oleh masing-masing kepala distrik bawahan (arung).  
C.    Pemberontakan Massalinri Dg Mallira
Perlawanan terhadap kolonialisme Belanda pada umumnya pernah dilalui bangsa Indonesia yaitu penjajahan dan penindasan bangsa asing selama kurang lebih tiga setengah abad yang menyebabkan timbulnya perlawanan rakyat di berbagai daerah di Indonesia untuk membebaskan bangsa dan Negara dari belenggu penjajahan asing, khususnya Belanda.
Pada tahun 1847 pemerintah telah memilih kebijakan perdagangan bebas dan menemukan sejumlah pelabuhan di kawasan timur sebagai pelabuhan bebas, termasuk Makassar. Kebijakan telah mendorong perkembangan yang pesat di kawasan timur dan Makssar berhasil tampil menjadi bandar saingan terpenting dari posisi Singapura. Kemajuan dan keberhasilan Belanda tidak membawa keuntungan bagi pemerintah Kolonial Belanda dan lebih menguntungkan pusat pedagang Asing. Selain itu, perdagangan bebas juga akan mengancam posisi Belanda terhadap wilayah koloninya dengan adanya pemasaran senjata dan amunisi dari Inggris serta mengajarkan cara penggunaan senjata tersebut. Oleh karena itu, rencana pembatalan perdagangan bebas pada tahun 1872, namun batal dilakukan karena mendapat protes dari berbagai pihak sehingga tidak segera dilaksanakan.
Pemerintahan jajahan Kolonial Belanda di Sulawesi Selatan pada awal abad ke XX dimana suhu politik semakin memanas pada saat pemerintah Kolonial Belanda menginginkan penguasaan langsung pada daerah-daerah di Sulawesi Selatan. Wilayah yang telah dikuasai oleh pemerintah Kolonial Belanda diberi status Onder afdeling dibawah afdeling. Sementara wilayah yang belum dikuasai secara langsung diberi status kerajaan sekutu atau sahabat (Bondgenootschap). Perlawanan terhadap pemerintahan Kolonial Belanda dilakukan oleh rakyat di Tellu Limpoe karena adanya beberapa keputusan yang dianggap merugikan wilayah Tellu Limpoe antara lain:
1.      Gubernur Hindia Belanda diakui sebagai pembela dan pelindung dari persekutuan (Bondgenootschap).
2.      Tidak ada kedaulatan diantara anggota-anggota sekutu selain dari saudara tua (Gubernur Hindia Belanda).
3.      Angota – anggota sekutu memandang musuh – musuh dari Gubernur Hindia Belanda sebagai musuh dan sahabat – sahabat dari Gubernemen sebagai sahabatnya. Keputusan mengenai perselisihan diantara anggota – anggota sekutu daripada Gubernemen dan lain – lain.[37]
Dari ketiga bunyi pasal diatas sangat berpengaruh dan merugikan kerajaan yang ada di Tellu Limpoe, karena kerajaan yang ada di  Tellu Limpoe tidak boleh melakukan sesuatu tanpa ada perintah dari pemerintah Kolonial Belanda dan pemegang kekuasaan yang menetukan segala sesuatu bukan lagi para Raja yang ada di wilayah Tellu Limpoe akan tetapi penentu segala kebijakan berada ditangan pemerintah Kolonial Hindia Belanda.  Penguasa (Raja) dan Masyarakat hanya sebagai pelaksana tugas dari pemerintah Kolonial Belanda saja. Jadi, Raja hanya sebagai simbol untuk melakukan dan menguasai masyarakat Tellu Limpoe saja. Hal ini tentu sangat merugikan para bangsawan dan masyarakat di Tellu Limpoe. Karena kebebasan dan kekuasaannya telah dipegang oleh pemerintah Kolonial Belanda baik dalam penetuan kebijakan, jabatan dan rakyat Tellu Limpoe. Jadi kegiatan yang paling nampak dalam bidang politik di Tellu Limpoe adalah hilangnya kebebasan dan kedaulatan Raja terhadap wilayah dan masyarakatnya sehingga para Raja terpaksa untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah Kolonial Belanda untuk mempertahankan kekuasaan dan kedaulatannya terhadap wilayah dan masyarakatnya. Selain alasan tersebut Perlawanan itu dilakukan karena adanya nilai – nilai budaya yang terkandung pada masyarakat Sulawesi Selatan pada umumnya dan masyarakat Tellu Limpoe dikenal dengan budaya Siri’ na Pacce.
Perlawanan Massalinri Dg. Mallira pada tahun 1871 merupakan reaksi perlawanan rakyat setelah Belanda menanamkan kekuasaannya di Bulo-Bulo. Perlawanan itu merupakan suatu keresahan sosial bagi rakyat Sinjai, karena terjadi pengalih fungsian pemerintahan tradisional dan munculya perpajakan yang mengikat penduduk.
            Massalinri Dg. Mallira lahir pada tahun 1830 dari perkawinan Salolang Dg. Palili Aru Pangasa dengan Ipada Daeng Tamene putrid Arung Tondong. Pada tahun 1861 ia mengacaukan militer Belanda di Balang Nipa.[38] Hal ini menandakan suatu protes kepada Pemerintah Hindi Belanda. Melalaui dasar ini militer belanda menaruh perhatian khusus agar tidak menimbulkan ke kacauan. Meskipun demikian, Massalinri tetap melancarkan aksinya. Terbukti dengan terbunuhnya regent Bulu-Bulo yakni Abd. Gani.[39]
            Pada tanggal 24 Mei 1871 militer Belanda mengadakan pertempuran dengan Massalinri beserta pengikutnya.  Akan tetapi, pengepungan ini mendapat hadangan dari Massalinri. Peristiwa ini terjadi di Cakkempong yang mengakibatkan pertempuran hebat. Dalam perang ini pasukan Belanda berhasil dipukul mundur dan melarikan diri ke pusat pangkalan militer di Balang Nipa.[40]
            Setelah terjadinya perang ini, maka Massalinri bersama pengikutnya mengadakan perang secara bergerilya di daerah sebelah Selatan kerajaan Bulo-Bulo tepatnya di Wae Pellae menuju ke Selatan sampai daerah Bikeru. Pada tanggal 26 Mei 1871, Massalinri kembali bertempur melawan Belanda di Bikeru. Untuk melumpuhkan perlawanan Massalinri, pihak Belanda berupaya untuk membujuk keluaganya untuk berdamai. Ajakan ini di terima oleh keluarganya bahkan bersedia untuk mundur di sebelah Utara (daerah Cappa Galung Bola Roman). Ditempat inilah Massalinri gugur terbunuh oleh pasukan Belanda yang berjumlah besar. Dengan berakhirnya perlawanan Massalinri pemerintah Kolonial dengan leluasa mengatur roda pemerintahan di Tellu Limpoe. Salah satunya dengan keluarnya Bisluit tertanggal 1 Februari 1872 No. 18 (Staadblat No. 20).Bisluit tersebut berisi pemecahan  Kerajaan Bulo-Bulo menjadi Bulo-Bulo Timur dan Bulo-Bulo Barat, sekaligus pada tahun 1874 Tellu Limpoe masuk dalam Ooster Districten.




[23]   Soekandar Wiriatmaja, Pokok-Pokok Sosiologi Pedesaan (Jakarta: Yasaguna, 1982). hlm. 67

[24]   Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Yayasan Penerbiitan Universitas Indonesia,1975) hlm.134

[25]   Mattulada, Latoa Suatu Lukisan Analisa Terahadap Antropologi, Disertasi , (Jakarta: Universitas Indonesia, 1976) hlm.42.
[26] Kamaruddin, Makalah Seminar menelusiri Hari Jadi Sinjai Untuk Menyongsong Masa Depan Yang Lebih cerah, (Sinjai, 2-3 September 1994)hlm.15.

[27] Ibid, hlm. 15-16

[28]Ibid.
[29]Ibid, hlm. 16-17.
[30] Ibid. hlm.17

[31] Op. Cit, Perjuangan Lampe Uttu Melawan Imperialisme Belnda di Daerah Bulukmba, Hlm. 39
[32] Daud Limbugu, Terbentuknya Wilayah Administrasi Pemerintah Hindia Belanda di Sulawesi Selatan 1824-1874. Yogyakarta: Tesis UGM, 1985, Hlm 64. Dalam Abd.Rasyid, Pendudukan  Belnda di Kerajaan Bulo-Bulo Pada Abad ke XIX-XX
           
[33] Abd. Rasak Dg. Patunru, Op. Cit. Hlm. 95.
[34] Kamaruddin, catatan: Politik Devide et Empera  di Tellu Limpoe, hlm. 3

[35] Ibid.

[36] Kamaruddin, Sinjai di Zaman Perjanjian Belanda.
[37]Bahri Majid,dkk. “Sejarah Perjuangan La Sinrang”, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Pinrang, 2005, hlm. 22 – 25.
[38]  Syarifuddin, Perlawanan Massalinri di Sinjai. Seksi Kebudayaan Kabupaten Sinjai. Hlm.2, dalam Abd.Rasyid, Pendudukan  Belnda di Kerajaan Bulo-Bulo Pada Abad ke XIX-XX.

[39] Abd.Rasyid, Pendudukan  Belnda di Kerajaan Bulo-Bulo Pada Abad ke XIX-XX, Ujung Pandang, Skripsi, Hlm. 39

[40] Ibid, Hlm. 44