TELLU LIMPOE DARI OOSTER
DISTRICTEN MENJADI ONDERAFDELING SINJAI
A.
KONDISI SOSIAL
POLITIK TELLU LIMPOE
Masyarakat
secara vertical terbagi atas beberapa tingkatan kedudukan social (kemsayarakatan). Pelapisan
kemasyarakatan ini terdapat di semua macam masyarakat, baik yang telah maju
maupun yang masuh terbelakang[23].
Lapisan masyarakat tadi mulai sejak manusia mengenal adanya kehidupan bersama
didalam suatu organisasi sosial.
Pada masyarakat kecil serta sederhana, biasanya membedakan kedudukan dan peranan
bersifat minim, karena warganya sedikit dan orang-orang yang dianggap tinggi
kedudukannya juga tidak banyak macam serta jumlahnya. Secara prinsipil, bentuk
lapisan social dapat diklasifikasikan kedalam tiga macam kelas yaitu ekonomis,
politis dan yang didasarkan pada jabatan tertentu dalam masyarakat [24].
Menurut
Friedericy, lapisan masyarakat Sulawesi Selatan pada hakekatnya ada dua lapisan
pokok saja, yaitu lapisan anakarung dan
maradeka. Adapun atas hanya merupakan lapisan sekunder. Hal ini mengikuti
pertumbuhan pranata sosial
dalam kerajaan Sulawesi Selatan[25].
Bertolak
dari pendapat tersebut maka dapat dikatakan bahwa masyarakat Bugis Makassar
pada umumnya tidak lepas dari pelapisan sosial dalam masyarakat, termasuk
masyarakat Tellu Limpoe.
Pada tahun
1824 kerajaan-kerajaan di Bulo-Bulo
Sanjai menghadapi musuh
yang kuat yaitu Kompeni Belanda yang berpusat
di bulo bulo. Maksud kedatangan
kompeni belanda di bulo bulo ini adalah ingin menguasainya berdasarkan perjanjian Bongaya antara Gowa dan
Belanda pada tahun 1667.[26] Salah
satu isi perjanjian bongaya yang berbunyi bahwa semua kerajaan kerajaan yang
terhilap dalam kekuasaan kerajaan di kuasai
oleh Kompeni Belanda atau Hindia Belanda. Olehnya itu Belanda yang berada di Batavia mengirim surat pada raja Bulo-Bulo
yang pada saat itu diperintah oleh
seorang raja arung wanita yang bernama Cella didampingi seorang sulewatang yang
bernama Baso Akbar bergelar Baso Kalaka Puang Lampe Uttu Mallangkarae di Kalaka
Mallangkanae di Balubu, Calabai Tungkena Kalaka Koro Pessena Balubu Bari Cilampa’na
Mangottong yang menjabat sebagai panglima kerajaan Bulo-Bulo. [27]
Adapun surat Hindia Belanda
tersebut meminta atau menyerahkan kerajaan Bulo-Bulo termasuk Bulo-Bulo sanjai
dibawah kekuasaan Hindia Belanda. Jika kerajaan di bulo bulo sanjai tidak mau
menyerahkannya maka akan dihancurkan
oleh Kompeni Belanda. Mengetahui maksud tersebut, raja Bulo-Bulo mengundang
semua raja raja yang ada di Bulo-Bulo di Sanjai disamping itu, ia juga
mengundang arung Bulu Tana dan Patimpeng (Kahu)
guna dimintai pendapat dan pemikirannya maksud surat tersebut.
Hasil pertemuan
tersebut tidak seorang pun yang
menyetujuinya dan memilih angkat senjata melawan Kompeni. Baso Kalaka sebagai
penanggung jawab keamanan rakyat dan kerajaan beserta ipar saudara basokalaka
yang bernama La Mandasini yang bergelar
Lapute Isi Arung Patimpeng memilih untuk mempertahankan kerajaan Bulo-Bulo
Sanjai.[28]
Selain itu, rapat
tersebut memutuskan untuk segera membalasnya melalui pesuruh Belanda yang berada
di Sanjai. Isi surat balasan tersebut adalah tak sejengkal tanah pun akan
diserahkan kepada Kompeni sebelum melangkahi mayat Baso Kalaka beserta raja
Bulo-Bulo Sanjai beserta pabbaraninya. Mereka semua rela berkorban demi
kepentingan kerajaan.
Setelah surat raja
Bulo-Bulo dikirim melalui pesuruh Belanda sejak saat itu pula Baso Kalaka
mempersiapkan segala kekuatan perang termasuk persenjataan pabbarani
dibekali latihan mempergunakan tombak, keris, badik dan parang sedang
Lamaddisini kembali ke pattimpeng juga mempersiapkan pasukannya untuk untuk
bergabung menghadapi serangan Belanda. Pada tahun 1824 datang pasukan Belanda
sebanyak 7 buah kapal perang yang berisi pasukan Belanda yang lengkap dengan
persenjataannya yang berjejer disebelah barat Bulau Bulunrue di sebelah timur
Mangarabbombang. Dinihari atau menjelang subuh Kerajaan Bulo-Bulo mulai
dihujani dengan peluru Belanda. Baso kalaka mendapat kesempatan mengatur siasat
perangnya dengan memerintahkan gadis-gadis cantik masing masing membawa kain
putih sedang para pabbarani atau pasukan Baso Kalaka dan Lamaddasini menyusup
kepantai bersembunyi pada semak semak. Pada pagi harinya tampak gadis-gadis
dipinggir pantai mangarabbombang berjalan sambil memancangkan kain putihnya
dipinggir pantai. Belanda tanpa berpikir panjang lalu semuanya berloncatan dari
kapal untuk merebut gadis-gadis cantik itu. Sesungguhnya itu adalah politik
perang dari Baso Kalaka agar Belanda mendarat dan mudah disergap satu persatu
melalui ujung tombak keris badik dan parang. Dengan mendaratnya pasukan belanda
dari 7 kapal perang itu maka berperang
mati-matianlah raja Bulo-Bulo yang dipimpin masing-masing pabbarani seperti
Tondong, Lamatti, Manimpahoi, Manipi Turungeng, Arung Bulu Tana Lamandasini.
Perlawanan Bulo-Bulo Sanjai
dapat menenggelamkan sebuah kapal perang
yang bernama H M Gronigem disebelah
barat balunru.[29]
Belanda pada saat itu dipimpin oleh Van Geen bertekuk lutu pada Bulo-Bulo Bulo-Bulo
Sanjai yang akhirnya lari menyelamatkan diri dari sergapan pabbarani. Belanda
kembali ke Batavia dengan hanya 6 buah
kapal perangnya. Peperangan ini berlangsung lama tetapi tidak terus
menerus dan berakhir pada tahun awal 1859. Pada akhir tahun 1859 datang lagi
serangan belanda dari segala penjuru dibawah pimpinan Van Sweeten.[30] Penyerangan Belanda ini membuahkan hasil
karena melemahnya kerjasama di dalam tubuh pasukan Bulo-Bulo Sanjai sehingga
kekuatan sulit terkoordinir oleh Baso Kalaka.
Baso Kalaka mundur sambil berkata bahwa
sesungguhnya musuh Bulo-Bulo Sanjai adalah siputih mata bukan bangsa
sendiri tidak ada gunanya kita saling membunuh antara sesama keluarga sendiri
dan saya sendiri serta pasukan yang akan melanjutkan perlawanan ini ikut saja
dimana saya bertahan nanti. Silahkan saudara saudaraku yang mencintai Belanda
tinggal bersama Belanda itu di Bulo-Bulo Sanjai. Tetapi kalian adalah musuh
saya kata Baso kalaka, sedangkan Lamaddasini
kembali ke Pattimpeng menyusun kekuatan guna menghadapi Belanda di sana.
Berangkatlah Baso Kalaka ke Bulukumba guna menyusun kekuatan
untuk menghadapi Belanda. Pada tahun 1875 Baso Kalaka meninggal dunia dalam
keadaan sakit[31].
Setelah Baso Kalaka dan Lamaddasini tidak berkuasa lagi di Bulo-Bulo Sanjai
Belanda telah menanamkan kuasanya tetapi tidak berjalan lancar. Perlawanan
rakyat yang dipimpin oleh raja
masing-masing masih sering terjadi. Hal
ini sangat menyulitkan Belanda hingga akhir
tahun 1860.
Telah
diketahui bersama bahwa setiap peperangan yang terjadi cukup banyak akibat yang ditimbulkan baik itu sifatnya
positif maupun sifat negatif atau merugikan. Kalau
kita berbicara tentang akibat karena perang dan bila kita tinjau pada satu segi
sebagian besar orang mengatakan bahwa perang mengakibatkan kerugian yang sangat
besar baik jiwa dan harta benda serta
lain lainnya. Tetapi bila kita tinjau secara pesikologi di balik itu mempunyai
keuntungan yang sangat besar bagi umum atau masyarakat dan Negara. Misalnya kemerdekaan
suatu bangsa tidak mungkin dicapai tanpa
melalui akibat yang sangat besar.
Demikian
pula halnya dengan perlawanan Puang Lampe Uttu terhadap imperialisme Belanda tentunya terdapat banyak akibat dan semua
akibat mempunyai nilai-nilai perjuangan yang sangat tinggi terutama keperkasaan
semangat patriotisme yang dapat dijadikan ketauladanan bagi generasi pelanjut cita cita bangsa dalam
membangun Negara serta memperkuat
kepribadian bangsa memupuk rasa persatuan
dan kesatuan cinta banga Negara. Adapun akibat yang ditimbulkan dari perlawanan
Puang Lampe Uttu terhadap imperialisme Belanda
adalah pengorbanan harta benda baik terjun ke medan laga maupun
masyarakatnya yang tidak terlibat langsug dalam kontak senjata.
Selain
itu perlawanan tersebut juga menimbulkan pemecatan raja raja dilakukan oleh
Belanda, setelah Belanda menanamkan kuasanya. Para raja yang pernah memihak
kepada perlawanan Puang Lampe Uttu di
pecat atau diturunkan dari tahta kerajaannya dan diganti dengan orang orang
yang dipercaya oleh Belanda. Keturunan dan sanak keluarga dari raja yang
dipecat tidak diberikan kedudukan dalam kerajaannya begitu pula pendidikan yang
lebih.
B.
Konfederasi
Tellu Limpoe dalam Perjanjian Bungaya yang Diperbaharui 1824
Prinsip politik tidak campur tangan urusan dalam
negeri kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan telah dianut Kompeni Belanda sejak
perjanjian Bungaya 1667. VOC menduduki Makassar hanya dalam usaha melindungi
monopoli perdagangan di Kepulauan Maluku. Perjanjian Bungaya yang diperbaharui
pada tahun 1824 salah satunya menyatakan bahwa, pemerintah Belanda tidak lagi
berkepentingan dalam masalah monopoli perdagangan di kepulauan Maluku tapi
menuntut pengakuan kedaulatan atas kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan.
Politik ini
mulai ditinggalkan Pemerintah Kolonial Belanda pada saat Inggris mengadakan
kegiatan di Sulawesi Selatan. Menanggapi hal tersebut Pemerintah Kolonial
Belanda berhati-hati akan adanya sengketa kekuatan Inggris dalam
kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan. Untuk mengatasi hal itu pemerintah
colonial mengadakan perubahan nama (Gouvernement
Makassar en Onderhoorigheden) menjadi
(Gouvernement Celebes en Onderhoorigheden).[32]
Perubahan ini
terjadi pada tahun 1846 dibawah pemerintahan Gubernur Jendral Jan Jacob Rochussen
sekaligus sebagai Gubernur Sulawesi yang menjadi ancaman bagi kerajaan-kerajaan
lokal di Sulawesi Selatan termasuk Tellu Limpoe yang merupakan kerajaan otonom.
Akibat campur tangan pemerintah colonial, yang diakhiri dengan perang Bulo-Bulo
maka persekutuan Tellu Limpoe di hapuskan beralih ke pemerintah kolonial.
Keberhasilan
Belanda menguasai negeri-negeri bagian timur Sulawesi Selatan merupakan
realisasi perjanjian Bungaya yang diperbaharui pada tahun 1824, seperti termuan
dalam pasal enam bahwa batas-batas daerah kepentingan Gubernemen akan
ditetapkan kemudian. [33]
Pasal ini mengandung arti bahwa daerah kekuasaan Belanda didasarkan atas
keadaan politik yang setiap saat bisa diperluas termasuk kerajaan-kerajaan
dalam konfederasi Tellu Limpoe.
Dengan adanya
perjanjian Bungaya 9 Agustus 1824 bertujuan untuk menguatkan perjanjian Bungaya
pada tahun 18 November 1667. Hal ini juga bertujuan untuk menyalurkan cita-cita
politik untuk menguasai kerajaan-kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan.
Segala macam cara dan
upaya yang dilakukan Belanda guna mematahkan perlawanan rakyat yang datangnya
secara tiba-tiba seperti melaksanakan tindakan kekerasan terhadap rakyat yang
diketahui memimpin pemberontakan tanpa pri kemanusiaan. Mengadakan pergantian
raja-raja pada kerajaan yang diduga memihak pada pemberontak. Tetapi usaha dan
cara tersebut, bukannya melumpuhkan perlawanan rakyat, melainkan sebagai
penambah semangat juang rakyat untuk melawan Belanda.
Belanda
melanjutkan politik pecah belahnya, kerajaan Bulo-Bulo dipecah menjadi dua kerajaan,
masing-masing kerajaan Bulo-Bulo Timur dan Barat di Bekeru pada tahun 1871[34]. Dengan terpecahnya kerajaan Bulo-Bulo
menjadi dua buah kerajaan maka lumpuhlah perlawanan rakyat Bulo-Bulo Sanjai.
Sejak itu Belanda telah berkuasa penuh atas semua kerajaan-kerajaan yang ada di
Sanjai dan Sejak itu pula kerajaan Bulo-Bulo Sanjai telah hilang dalam
Kenyataan karena telah ditunggangi oleh Belanda
sepenuhnnya. Dan mulai kedengaran sebutan Sinjai, jarang lagi kita mendengar
kata Sanjai.[35] Kebijakan
ini telah menanamkan benih dan bangkitnya rasa kebangsaan atau nasionalisme
serta semangat kedaerahan.
Pada tahun 1861
pemerintahn di Tellu Limpoe berubah menjadi distrik sebagai berikut:
Pada
saat itu Sinjai memiliki 6 distrik dan beberapa distrik bawahan, sebagai
berikut:[36]
1. Distrik Tondong dengan 7 distrik bawahan
2. Distrik
Bulo-Bulo Timur dengan 14 distrik bawahan
3. Distrik
Bulo-Bulo Barat dengan 11 distrik bawahan
4. Distrik
Lamatti dengan 12 distrik bawahan
5. Distrik
Manimpahoi dengan 10 distrik bawahan
6. Distrik
Manipi dengan 16 distrik bawahan
Masing-masing distrik bawahan
diperintah oleh seorang arung. Sedangkan pemilihan kepala adat (adat
gemenschap) dipilih melalui pemilihan yang diwakili oleh masing-masing kepala
distrik bawahan (arung).
C.
Pemberontakan
Massalinri Dg Mallira
Perlawanan
terhadap kolonialisme Belanda pada umumnya pernah dilalui bangsa Indonesia
yaitu penjajahan dan penindasan bangsa asing selama kurang lebih tiga setengah
abad yang menyebabkan timbulnya perlawanan rakyat di berbagai daerah di
Indonesia untuk membebaskan bangsa dan Negara dari belenggu penjajahan asing,
khususnya Belanda.
Pada
tahun 1847 pemerintah telah memilih kebijakan perdagangan bebas dan menemukan
sejumlah pelabuhan di kawasan timur sebagai pelabuhan bebas, termasuk Makassar.
Kebijakan telah mendorong perkembangan yang pesat di kawasan timur dan Makssar
berhasil tampil menjadi bandar saingan terpenting dari posisi Singapura.
Kemajuan dan keberhasilan Belanda tidak membawa keuntungan bagi pemerintah
Kolonial Belanda dan lebih menguntungkan pusat pedagang Asing. Selain itu,
perdagangan bebas juga akan mengancam posisi Belanda terhadap wilayah koloninya
dengan adanya pemasaran senjata dan amunisi dari Inggris serta mengajarkan cara
penggunaan senjata tersebut. Oleh karena itu, rencana pembatalan perdagangan
bebas pada tahun 1872, namun batal dilakukan karena mendapat protes dari
berbagai pihak sehingga tidak segera dilaksanakan.
Pemerintahan
jajahan Kolonial Belanda di Sulawesi Selatan pada awal abad ke XX dimana suhu
politik semakin memanas pada saat pemerintah Kolonial Belanda menginginkan
penguasaan langsung pada daerah-daerah di Sulawesi Selatan. Wilayah yang telah
dikuasai oleh pemerintah Kolonial Belanda diberi status Onder afdeling dibawah
afdeling. Sementara wilayah yang belum dikuasai secara langsung diberi status
kerajaan sekutu atau sahabat (Bondgenootschap). Perlawanan terhadap pemerintahan
Kolonial Belanda dilakukan oleh rakyat di Tellu Limpoe karena adanya beberapa
keputusan yang dianggap merugikan wilayah Tellu Limpoe antara lain:
1. Gubernur
Hindia Belanda diakui sebagai pembela dan pelindung dari persekutuan
(Bondgenootschap).
2. Tidak
ada kedaulatan diantara anggota-anggota sekutu selain dari saudara tua
(Gubernur Hindia Belanda).
3. Angota
– anggota sekutu memandang musuh – musuh dari Gubernur Hindia Belanda sebagai
musuh dan sahabat – sahabat dari Gubernemen sebagai sahabatnya. Keputusan
mengenai perselisihan diantara anggota – anggota sekutu daripada Gubernemen dan
lain – lain.[37]
Dari
ketiga bunyi pasal diatas sangat berpengaruh dan merugikan kerajaan yang ada di
Tellu Limpoe, karena kerajaan yang ada di
Tellu Limpoe tidak boleh melakukan sesuatu tanpa ada perintah dari
pemerintah Kolonial Belanda dan pemegang kekuasaan yang menetukan segala
sesuatu bukan lagi para Raja yang ada di wilayah Tellu Limpoe akan tetapi
penentu segala kebijakan berada ditangan pemerintah Kolonial Hindia
Belanda. Penguasa (Raja) dan Masyarakat
hanya sebagai pelaksana tugas dari pemerintah Kolonial Belanda saja. Jadi, Raja
hanya sebagai simbol untuk melakukan dan menguasai masyarakat Tellu Limpoe
saja. Hal ini tentu sangat merugikan para bangsawan dan masyarakat di Tellu
Limpoe. Karena kebebasan dan kekuasaannya telah dipegang oleh pemerintah
Kolonial Belanda baik dalam penetuan kebijakan, jabatan dan rakyat Tellu
Limpoe. Jadi kegiatan yang paling nampak dalam bidang politik di Tellu Limpoe
adalah hilangnya kebebasan dan kedaulatan Raja terhadap wilayah dan
masyarakatnya sehingga para Raja terpaksa untuk melakukan perlawanan terhadap
pemerintah Kolonial Belanda untuk mempertahankan kekuasaan dan kedaulatannya
terhadap wilayah dan masyarakatnya. Selain alasan tersebut Perlawanan itu
dilakukan karena adanya nilai – nilai budaya yang terkandung pada masyarakat
Sulawesi Selatan pada umumnya dan masyarakat Tellu Limpoe dikenal dengan budaya
Siri’ na Pacce.
Perlawanan Massalinri Dg. Mallira pada tahun 1871
merupakan reaksi perlawanan rakyat setelah Belanda menanamkan kekuasaannya di
Bulo-Bulo. Perlawanan itu merupakan suatu keresahan sosial bagi rakyat Sinjai,
karena terjadi pengalih fungsian pemerintahan tradisional dan munculya
perpajakan yang mengikat penduduk.
Massalinri
Dg. Mallira lahir pada tahun 1830 dari perkawinan Salolang Dg. Palili Aru
Pangasa dengan Ipada Daeng Tamene putrid Arung Tondong. Pada tahun 1861 ia mengacaukan
militer Belanda di Balang Nipa.[38]
Hal ini menandakan suatu protes kepada Pemerintah Hindi Belanda. Melalaui dasar
ini militer belanda menaruh perhatian khusus agar tidak menimbulkan ke kacauan.
Meskipun demikian, Massalinri tetap melancarkan aksinya. Terbukti dengan
terbunuhnya regent Bulu-Bulo yakni Abd. Gani.[39]
Pada
tanggal 24 Mei 1871 militer Belanda mengadakan pertempuran dengan Massalinri
beserta pengikutnya. Akan tetapi,
pengepungan ini mendapat hadangan dari Massalinri. Peristiwa ini terjadi di
Cakkempong yang mengakibatkan pertempuran hebat. Dalam perang ini pasukan Belanda
berhasil dipukul mundur dan melarikan diri ke pusat pangkalan militer di Balang
Nipa.[40]
Setelah
terjadinya perang ini, maka Massalinri bersama pengikutnya mengadakan perang
secara bergerilya di daerah sebelah Selatan kerajaan Bulo-Bulo tepatnya di Wae
Pellae menuju ke Selatan sampai daerah Bikeru. Pada tanggal 26 Mei 1871,
Massalinri kembali bertempur melawan Belanda di Bikeru. Untuk melumpuhkan
perlawanan Massalinri, pihak Belanda berupaya untuk membujuk keluaganya untuk
berdamai. Ajakan ini di terima oleh keluarganya bahkan bersedia untuk mundur di
sebelah Utara (daerah Cappa Galung Bola Roman). Ditempat inilah Massalinri gugur
terbunuh oleh pasukan Belanda yang berjumlah besar. Dengan berakhirnya
perlawanan Massalinri pemerintah Kolonial dengan leluasa mengatur roda
pemerintahan di Tellu Limpoe. Salah satunya dengan keluarnya Bisluit tertanggal
1 Februari 1872 No. 18 (Staadblat No. 20).Bisluit tersebut berisi
pemecahan Kerajaan Bulo-Bulo menjadi
Bulo-Bulo Timur dan Bulo-Bulo Barat, sekaligus pada tahun 1874 Tellu Limpoe
masuk dalam Ooster Districten.
[24] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Yayasan Penerbiitan Universitas
Indonesia,1975) hlm.134
[25] Mattulada, Latoa Suatu Lukisan Analisa Terahadap Antropologi, Disertasi ,
(Jakarta: Universitas Indonesia, 1976) hlm.42.
[26] Kamaruddin, Makalah Seminar menelusiri Hari Jadi Sinjai Untuk Menyongsong Masa Depan
Yang Lebih cerah, (Sinjai, 2-3 September 1994), hlm.15.
[28]Ibid.
[31] Op. Cit, Perjuangan Lampe Uttu
Melawan Imperialisme Belnda di Daerah Bulukmba, Hlm. 39
[32] Daud Limbugu, Terbentuknya Wilayah Administrasi Pemerintah Hindia Belanda
di Sulawesi Selatan 1824-1874. Yogyakarta: Tesis UGM, 1985, Hlm 64. Dalam Abd.Rasyid, Pendudukan Belnda di Kerajaan
Bulo-Bulo Pada Abad ke XIX-XX
[36]
Kamaruddin, Sinjai di Zaman Perjanjian
Belanda.
[37]Bahri
Majid,dkk. “Sejarah Perjuangan La
Sinrang”, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Pinrang, 2005, hlm. 22
– 25.
[38] Syarifuddin, Perlawanan
Massalinri di Sinjai. Seksi Kebudayaan Kabupaten Sinjai. Hlm.2, dalam Abd.Rasyid, Pendudukan Belnda di Kerajaan
Bulo-Bulo Pada Abad ke XIX-XX.
[39] Abd.Rasyid, Pendudukan Belnda di Kerajaan
Bulo-Bulo Pada Abad ke XIX-XX, Ujung Pandang, Skripsi, Hlm. 39
[40] Ibid, Hlm. 44